Memahami Akar Intelektual Ilmu Sosial
Oleh:
Ida Bagus Gde Yudha Triguna.
Universitas Hindu Indonesia.
(Yogyakarta, 1989, dan refresh Gatot Subroto, 07 Mei 2020).
Universitas Hindu Indonesia.
(Yogyakarta, 1989, dan refresh Gatot Subroto, 07 Mei 2020).
I. PENDAHULUAN
Pemikiran tentang dasar pengetahuan ilmiah bagi perbaikan kehidupan masyarakat pertamakali muncul di abad XVIII. Peletak dasar pemikiran tersebut ialah Jeremy Bentham, seorang yang dikenal sebagai teoretisi iconoclastic yang karya ilmiahnya amat populer saat itu terbit tahun 1789 di tengah periode gejolak hebat revolusi. Pada waktu itu, etika dianggap sebagai "ilmu" moralitas yang perhatian utamanya adalah mengenai aturan-aturan berprilaku terpuji dan kebenaran itikad.
Bentham, berkeyakinan bahwa setiap pemikiran yang dianggap bernilai semestinya bisa dipraktekkan. Untuk itu titik berat perhatian diletakkan pada kecakapan perhitungan matematis terhadap konsekuensi setiap tindakan. Kemampuan ini oleh Bentham dijadikan dasar untuk keputusan yang bersifat etis, juga digunakan untuk mengevaluasi dan menentukan pilihan. Pergeseran dari perhatian terhadap etika sebagai pusat perhatian kepada pertimbangan konsekuensi, telah melahirkan implikasi-implikasi yang bersifat sangat mendasar dan revolusioner. Meskipun asumsi-asumsi Bentham begitu sederhana dan bersifat naif, temuannya mengenai kalkulus yang bisa membuat pening dan riang, tetapi hal itu tetap dianggap sebagai temuan besar pada saat itu.
Pengaruh Bentham dalam pemikiran Eropa sangat besar, tapi perbedaan tradisi-tradisi nasional telah menyeleksi pesan-pesan yang dikandung dalam pemikiran Bentham. Di Inggris, John Stuart Mill menyempurnakan pendapat pokok dari Bentham dan menggilasnya di bawah label "utilitarianisme" hingga "neo-classical economists" yang kemudian mendominasi segala bidang sampai berakhirnya abad XIX. Di Perancis, pemikiran-pemikiran Bentham diangkat oleh Saint-Simon, filsuf yang berotak seperti radar. Ia menyelaraskan dengan getaran-getaran modernitas. Akan tetapi transformasi model Saint-Simon, yang sebenarnya yang sudah diketengahkan oleh August Comte itu, mengambil jalan yang amat berbeda dari yang dilakukan oleh John Stuart Mill. Meskipun Mill tergolong pendekar awal dari filsafat aliran positif model Comte, Mill menolak kebuntuan authoritarianisme model Comte yang diperlihatkan lewat karya terakhirnya. Oleh karena itu, kedua macam tradisi tempramen moderen: (1) Inggris yang berakar pada individu dan kemerdekaannya, dan (2) Perancis yang sosialistis dan memberikan peran penentu pada negara, berjalan terpisah satu sama lain.
Sumbangsih Bentham yang paling penting dan merupakan sumbangsihnya kepada metodelogi ilmu sosial, menjadikan Saint-Simon sebagai Bapak ilmu-ilmu sosial. Figur yang ambisius ini dianggap cocok oleh beberapa pakar ilmu sosial sebagai "empu" bagi pewaris pikiran-pikiranya, termasuk dalam sosiologi (Gouldner, 1985), ilmu politik (Vidal, 1959), administrasi negara (Ionescu, 1976; Krygier, 1979), dan bahkan sosialisme (meski bukan variasi dari Marxist), yang diterima baik hingga 1880-an terutama sebagai acuan teori intervensi negara ke dalam bidang ekonomi (Durkheim 1958, Berstein 1955).
Apa yang menjadi acuan Saint-Simon sebagai pemikiran sosial-fisiologi mengesankan suatu bayang mengenai bidang kajian sosial, dimana para ahli fisika berperan sebagai ilmuwan yang sasaran pekerjaannya adalah pelayanan kemanusiaan. Mengenal dengan baik "hukum organik" masyarakat, para ahli tadi kemudian merancang langkah masa depan sesuai dengan "perencanaan (sosial) yang bersifat komprehensip". Mereka ini ahli dalam memprediksi apa yang dihasilkan di masa yang akan datang berdasarkan tindakan-tindakan masa kini, sehingga memungkinkan masyarakat menentukan nasibnya. Itulah konsepsi yang dianggap berani, ketika itu. Sesuatu yang bisa dipraktekan, artinya para ilmuwan-fisika yang menggeluti bidang sosial bisa menyajikan pengetahuan kepada mereka yang paling mampu mengendalikan kamajuan umat manusia ke arah tatanan masyarakat industri, yakni para insinyur, wiraswastawan, dan ahli perbankan dan keuangan yang akan membangun semuanya itu; para seniman pengarang, dan musisi yang akan menyajikan hal-hal idealistis; dan para pemimpin politik.
Pada era Saint dan Simon mengembangkan teori-teorinya, kejayaan paling puncak dari industrialisasi begitu terpelihara. Teori-teori Saint-Simon ini kemudian ditumbangkan oleh kemunculan ideologi kaum borjuasi yang menjadikannya sanjata perjuangan untuk mendominasi. Sebagai suatu kelas sosial, mereka menciptakan manfaat yang lebih besar dari suatu filosofi dimana ilmu perencanaan (sosial) yang bersifat ilmiah digandengkan dengan pembebasan umat manusia dari kegelapan zaman feodal.
Hal yang menarik ialah kesejajaran teori ini dengan doktrin ekonomi pembangunan yang begitu populer pada tahun 1950-an dan 1960-an, pada saat industrialisasi sedang melanda negara-negara di Asia-Afrika dan percepatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara Amerika Latin. Emajinasi tentang kemakmura menjadi harapan yang bersifat universal; kemiskinan bisa dientaskan buat selama-lamanya; kebahagiaan akan tiba buat mesyarakat seluruhnya. Semua ini, satu saja kiatnya yaitu bisa dicapai dengan perencanaan (sosial) yang ilmiah. Hal ini menimbulkan suatu fungsi (bayangan-bayangan keindahan) yang segera mengarah ke pandangan mengenai sesuatu yang bersifat lebih serius, meski buat sementara hanya bermodalkan idialisme dan harapan (Wolfe 1981). Harapan dan idialisme yang sama seperti dahulu mengilhami para insinyur dari madzhab Saint-Simon sekitar seabad sebelumnya.
Pandangan yang bersifat lebih serius pada abad industri muncul kurang dari masa satu generasi setelah Saint-Simon meninggal di tahun 1825, yaitu dengan terbitnya karya Proudhom yang berjudul "Philosophy of Poverty" (1846). Dua tahun kemudian secara kebetulan dengan memanasnya keadaan di Paris yang melahirkan "The Communist Manifesto". Inilah babak awal pandangan radikal ilmu sosial, khususnya ilmu perencanaan, yang dikemas dalam doktrin-doktrin anarkhisme dan historis materialisme. Sementara itu, pandangan-pandangan yang konservatif maju terus di bawah bendera "Religion of Humanity" model Comte. Apa yang membuat perencanaan sosial yang bersifat radikal ini berbeda ialah pesan politisnya, yang dialamatkan bukan pada kelas memerintah, sebagaimana Saint-Simon dan Comte dahulu melakukannya, melainkan kepada kaum pejuang revolusioner yaitu kaum proletar daerah perkotaan. Kalau Proudhon mengumandangkan bahwa "kekayaan itu pencuri" tidak demikian yang didengungkan Marx dan Engels: "kaum buruh sedunia, bersatulah!".
Ketiganya (Proudhon, Marx, Engels) berharap akan adanya perubahan dalam hubungan kekuasaan; Proudhon menolak legitimasi kekuasaan yang bersifat memaksa dari siapapun, Marx dan Engels mendesak reformasi struktural sebagaimana digariskan 10 butir oleh Manifesto Komunis. Keduanya (Marx dan Engels) melihat jawaban itu ada pada negara borjuasi pemegang kekuasaan yang bersifat menindas, dan bisa direbut atas dasar mobilisasi sosial besar-besaran sekalian rakyat pekerja.
Dari uraian itu, terlihat bahwa dasar-dasar ilmu sosial pada hakekatnya bersumber dari dua kubu utama yakni pemikiran konservatif (Saint-Simon yang dilanjukkan oleh Proudhon) dan radikalisme (Karl Marx dan Frederix Engels). Kedua kubu ini melahirkan pemikiran ilmiah mengenai kebaikan tatanan kehidupan sosial menurut pandangannya masing-masing. Kedua macam pandangan itu berjalan hingga kini dalam kemasan teori-teori baru berdasarkan kemajuan daya pikir manusia. Akualisasi harapan dan idealisme pandangan-pandangan itu masih memerlukan perjalanan panjang di abad yang lain. Perubahan terus berlangsung, pergeseran nilai dan pembaharuan struktur sosial terus terjadi, tetapi hanya mereka yang memahami saja yang dapat menangkap makna semua ini. Kemampuan memahami itu dibantu dengan munculnya konsep-konsep meritocracy of scientific and technical elites (Tugwell 1975,b), objective social knowledge (popper 1975), the possibilities of a directed process of societal change (Etzioni 1968), the ultimate harmony of social relations fine-tuned to an ever-widening social consensus (Habermas 1979).
Perkembangan ide-ide ini jelas tidak berjalan dalam garis lurus. Satu dan lain hal, karena perbedaan persoalan memerlukan cara pemecahan yang berbeda, dan hal ini ditangani oleh suatu desiplin baru karena tantangannya menghendaki demikian. Juga, terdapat persaingan konsepsi dari negara dan, sebenarnya, dari para pelaku selain negara. Pada gilirannya, kemudian munculkan sejumlah besar variasi dalam tradisi pemikiran sosial. Sebagian membiarkan perkembangannya aspek teknis seperti; yang lain lebih condong ke aspek politik dan kelembagaan.
II. AKAR TRADISI INTELEKTUAL
Sejak akhir abad XVIII perkembangan ilmu sosial telah menunjukkan gerak yang sangat dinamis, terlebih setelah tahun 1940-an. Tradisi-tradisi intelektual dan para penulis senantiasa dapat ditempatkan mengikuti sifat continuum nilai-nilai sosial, mulai dari idiologi yang konservatif di posisi sebelah kiri hingga utopianism dan anarhcism di sebelah kanan.
Secara sederhana kontinuum ilmu sosial ini dapat dipilah ke dalam tiga bagian, yaitu (1) pada sisi paling kiri adalah para penulis yang berupaya mencari konfirmasi dan melahirkan hubungan kekuasaan yang ada di masyarakat. Dengan menyatakan kepeduliannya yang begitu kuat dengan aspek teknis, para penulis itu menyerukan perlunya kehati-hatian dalam menegakkan posisi netralitas politik. Dalam kenyataannya, mereka mengalamatkan hasil karyanya kepada para penguasa dan memperhatikan missi utama dalam kontes negara sebagai pemberi layanan. Kepedulian yang begitu kuat pada aspek teknis tadi melahirkan bidang kajian yang bersifat multidisiplin, seperti (1) analisis sistem, yang diturunkan dari sejumlah teori yang bisa secara longgar diletakkan di bawah sitem rekayasa seperti sibernetika, teori permainan, teori informasi, dan ilmu komputer. Para ilmuwan yang bergelut di dalam tradisi ini sangat mengandalkan model-model kuantitatif . Jika kita mengenal operations research, maka itu adalah contoh penerapan yang bersifat spesifik dari teknik-teknik optimasi untuk variabel-variabel sosial. Demikian pula dengan model-model forecasting jangka panjang yang dibangun sebagai alternatif dari operations research. Penelitian di masa kini dan yang akan datang banyak mengandalkan keampuhan analisis sistem ini. (2) ilmu kebijakan (policy science) adalah lebih dekat dengan administrasi negara (public administration) daripada kepada analisis sistem. Ilmu kebijakan merupakan subyek mengenai issu-isau yang bersifat spesifik dalam kebijakan publik (public policy) yang diterapkan pada analisis sosial-ekonomi. Konsep mengenai pangsa pasar dalam perdagangan termasuk analisis biaya dan manfaat, anggaran terbasis nol, efektivitas biaya, dan evaluasi program adalah contoh-contoh yang sering digunakan dalam analisis sosial-ekonomi. Semuanya itu ada acuannya bagi permasalahan yang nyata dan perlu dipecahkan demi mencapainya tujuan tanpa harus bersifat ambisius. Jadi ilmu kebijakan itu telah menjadi tradisi intelektual sepanjang masa. Logika seperti itu untuk sebagian besar diturunkan dari ekonomi neo-classic berikut ekonomi pembangunan dan teori sosial; (3) administrasi negara (public administration), umumnya telah dianggap lebih menitikberatkian kepada fungsi-fungsi perencanaan yang terpusat, kondisi-kondisi yang kondusif terhadap keberhasilan, dan hubungan antara perencanaan dan politik. Dalam dekade terakhir ini, titik berat bidang kajian diletakkan pada implementasi kebijakan publik dan program-programnya. Penyumbang terbesar terhadap teori sosial, khususnya mengenai perencanaan, yang secara tradisional berasal dari administrasi negara disajikan oleh karya Herbert Simon tahun 1945 yang berjudul "Administrative Behavior" yang menggunakan pendekatan proses birokrasi dari perspektif perilaku dengan menekankan pada kondisi-kondisi yang membatasi rasionalitas dalam organisasi-organisasi yang berskala besar.
Pada kontinuum paling kanan, terdapat para penulis yang perhatiannya diarahkan pada pengalihan atau abstraksi hubungan kekuasaan yang ada di dalam masyarakat sipil. Disini negara dianggap tidak ada tapi rakyat yang menetukan, khususnya yang berasal dari kaum pekerja, yang dipercaya secara fundamental menetang birokarasi negara dan lebih luas lagi, menetang setiap bentuk persekutuan kekuasaan. Modus langkah yang digunakan para penulis adalah kejujuran politis.
Yang paling ekstrim penolakannya terhahap kekuasaan ialah kaum Utopis dan Anarkis, yang menolak semua bentuk kekuasaan tertinggi dalam rangka mencari bentuk dunia tanpa hubungan yang bersifat hirarkis. Sehaluan dalam perkembangan tradisi ini ialah Historical Matrealism, dan yang paling baru ialah, Neo-Marxim. Para penulis dijalur ini cenderung berteori mengenai peralihan secara revolusioner "model produksi" yang berlaku saat ini. Berlawanan dengan kaum Utopis, kelompok ini menerima adanya negara sebagai keperluan. Hubungan kelas merupakan pusat analitik (pengendalian) kekuasaan dari kaum historis materialis. Melalui pertentangan kelas yang terus-menerus, menurut pendapat mereka, hubungan kekuasaan yang ada pada saat itu bisa dicampakkan dan diganti dengan negara sosialis yang mencerminkan kekuasaan yang terorganisir dan kepentingan-kepentingan kaum buruh sebagai totalitas.
Di pertengahan antara utopis, anarkis dan historis materialis terdapat tradisi kedua, yang penting bagi teori sosial dan dikenal sebagai aliran Frankfurt, dari Critical Sosiology (Jay 1973). Pendangan utamanya ialah kritik yang radikal berlandaskan paham yang termasuk katagori Hegel dan Marx, bersifat multi facet dari manifesto kebudayaan paham kapitalis termasuk pendewaan terhadap nalar yang bersifat teknis.
Di bagian tengah terdapat daerah overlap antara kubu "ideologi" konservatif yang mempertahankan hubungan kekuasaan yang ada saat itu, dengan kubu radikal utopia dengan abstraksinya mengenai hubungan kekuasaan. Di sini kita menghadapi tradisi-tradisi reformist teori sosial dan para pendahulunya. Erat kaitannya dengan administrasi negara yang mungkin untuk sebagian dianggap sebagai cabang dari tradisi reformist teori sosial itu, ialah aliran Manajemen Ilmiah yang muncul melalui karya Frederick Winslow Taylor (1911). Doktrin Taylor ini kemudian sangat populer. Tanpa mengiraukan kejelasan manfaatnya bagi kepentingan bisnis, pemikiran Taylor ini sangat menarik perhatian para pemikir radikal seperti Vebjen dan Lenin yang meyakini masyarakat sebagai laboratorium raksasa dan perencanaan sebagai bentuk rekayasa sosial. Bagi mereka semua, baik kaum konservatif maupun radikal, efisiensi adalah kiatnya, dan di abad industrialisasi keterampilan adalah "senjata" yang bisa membuka gerbang ke masa depan yang lebih baik.
Setelah tahun 1945, manajemen ilmiah mengembangkan kajian baru yaitu Pengembangan Organisasi (Organizational Development) yang sasaran utamanya adalah perusahaan swasta, melalui pesan halus retorika kemanusian yang meresap. Dengan karya-karya Eric Trist, Chris Argyris, Donald Schon, Charles Hampden-Turner, dan lain-lain. Bidang kajian ini menghasilkan literatur yang secara berangsur-angsur menggesar unsur keuntungan sebagai satu-satunya kreteria manajemen, dengan menempatkan nilai-nilai psikologi sebagai dasar penggerak perkembangan dan kemajuan.
Bersama dengan itu lahir aliran liberal yang lebih konvensional yaitu Institutional Economics (Ilmu Ekonomi Kelembagaan), suatu cabang dari Amerika dari madzhab Historis Jerman abad XVIII,. Perspektif yang menekankan pada kajian institusi-institusi sosial dan ekonomi yang ada melalui abstraksi teori dengan gaya ekonomi non-classic mulai diterima secara luas,. Yang lebih disukai kaum institutionalis ialah mengkaji tanaman-tanaman atau kelembagaan khusus dalam kaitannya dengan tujuan sosial dengan maksud untuk melakukan perubahan (reformasi). Sumbangan kolompok ini bagi perkembangan teori sosial adalah untuk merencanakan penyediaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, pengembangan sumber-sumber regional, kebijakan-kebijakan pembangunan perkotaan, program pembangunan perumahan rakyat, dan kesejahteraan sosial. Pelembagaan atas fungsi perencanaan merupakan perhatian utama kolompok ini. Kaum institutionalist cenderung menghormati negara sebagai sumber kebijakan dan subjek yang rasional, responsif terhadap tekanan politik.
Dalam pengertian ini, kelompok institusionalist lebih berpihak kepada tradisi Comte, yang mengajarkan bahwa para ilmuwan sosial hendaknya menyajikan pengetahuannya kepada yang memerintah bangsa. Sebagaimana halnya dengan Comte selaku bapak dari filsafat aliran positivis; kelompok instusionalis percaya pada kekuatan nalar teknis dalam menentukan apa yang benar, dalam mempengaruhi mereka yang keterbalakang dan ragu-ragu dan dalam menumbuhkan konsensus yang diperlukan bagi suatu tindakan. Kecurigaan terhadap kebebasan pilitik demokrasi, mereka kemas dengan menempatkan diri sebagai teknokrat yang menghargai kecakapan atau jasa (technocracy of the meritorious).
Di antara tradisi institusionalisme dan historis materialisme ditemukan aliran filsafat Pragmatisme. untuk tujuan-tujuan sekarang, ini adalah tradisi yang tergolong penting terutam karena pengaruh yang luar biasa dari John Dewey dalam sejarah perencanaan yang bercirikan intelektual. Pengaruh Dewey terutama terhadap para pakar ilmu ekonomi kelembagaan. Banyak pakar dari sini yang menerima kepiawaian Dewey mengenai "politik yang bersifat ilmiah" (scientific politics) di mana belajar dari kenyataan-kenyataan sosial dianggap sebagai hal yang paling mendasar untuk membangun demokrasi yang sehat. Penganut Dewey saat ini yang terkenal ialah Edgar Dunn.
Pada bagian tengah gambar tersebut, ditempatkan Sosiologi. Di sini kita jumpai instrumen sintesis paling handal dari ilmu pengetahuan sosial. Tanpa kecuali, para pakar sosiologi juga berargumentasi ikhwal nalar neknis dalam konteks masalah-masalah kemanusiaan. Emile Durkheim menekankan pentingnya nilai-nilai yang disepakati dalam organisasi sosial dan solidaritas organik (organik silidarity) dari pembagian tugas. Max Weber menekankan peran yang dominan dari strktur birokratis dalam suatu masyarakat industrial yang lebih memuja tertib fungsional Karl Mannheim, ahli sosiologi kontinental yang paling terkenal pada zamannya, seorang pengeritik masyarakat luas dan pendukung "rational planning" sebagai cara untuk mengatasi berbahayanya mereka yang tak bernalar yang telah menguasai Eropa. Karl Popper pakar berkebangsaan Austria yang bermigrasi dan menetap di Inggris, dalam polemiknya: "The Open Society and Its Enemies," terbit tahun 1945 mendukung konsep mengenai "rekayasa sosial" (social engineering). Robert Dahl dan Charles Lindblom, dua pakar ilmu sosial dari Yale University, yang karya bersamanya: "Politics, Economics, and Welfare" (1957) merupakan pernyataan teoretis pertama yang berpengaruh dari bangsa Amerika mengenai kajian perencanaan. Kemudian Amitai Etzioni, pakar sosiologi keturunan Israel yang menetap di Amerika Serikat, yang karyanya berjudal "The Active Society" (1968) merupakan bacaan yang amat berharga sebagai penerus pemikiran Mannheim dalam "Man and Society in an Age of Reconstruction", yang ditulis periode krisis satu generasi terdahulu (1949b; aslinya 1940).
Ilmu-ilmu Rekayasa (Engineering Sciences) berkibar melintang di bagian atas, menghubungkan pemikiran Saint-Simon dan Comte di bagian tengah dengan Manajemen Ilmiah, Administrasi Negara, Rekayasa Sistem, dan Ekonomi Kelembagaan. (Di sini pengaruh terhadap pemikiran Lenin juga diperlihatkan). The Ecole Polytechnique (didirikan di Paris 1794) dianggap sebagai prototipe lembaga pada abad industri dan merupakan sumber dari ideoligi manajerial. Para insinyur menerapkan pengetahuan ilmiahnya di bidang kontruksi jembatan, terowongan, dan saluran-saluran irigasi. Dengan logika yang sama, mengapa para pakar ilmu sosial tidak menerapkan pengetahuannya untuk melakukan rekontruksi sosial ? Di sini mulai dikenal Friedrich Von Hayek yang dengan brilian menulis mengenai latar belakang dan tujuan didirikannya The Ecole Polytechnique itu.
III. SIMPULAN
Secara umum teori sosial masih bergulat pada pertentangan antara idealisme dan positivisme. Teori-teori yang lahir dalam ilmu sosial cenderung memihak salah satu paradigma. Karena itu teori hanya berjalan di tempat dengan gereget-geregetnya. Jika ilmu sosial tersebut dilihat sebagai sebuah perspektif filsafat ilmu pengetahuan, maka secara ontologi memiliki aspek yang sama, sementara dalam dimensi epistimologi menunjukkan dualisme antara idealisme dan empirisme dengan segala konskuensi teoritis maupun metodologis.
DAFTAR BACAAN
Alan Ryan (ed). 1978. The Philosophy of Social Explanation: Oxford Reading in Philosophy. Oxford:Oxford University Press.
Babbie Earl. 1983 (third edition) The Practice of Social Research. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.
Campbell, Tom. 1981. Seven Theories of Human Society. Oxford: Clarendon Press.
Craib, Ian. 1992. Teori-Teori Sosial Modern. Jakarta: Rajawali.
Davidson Reynolds, Paul. 1976. A Prime in Theory Construction. Indianapolis: The Bobbs-Merrill Company, Inc.
Dibyasuharda. 1990. Dimensi Metafisik Dalam Simbol: Ontologi Mengenai Akar Simbol. Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Gert and Mill, Wright. 1958. From Max Weber: Essays in Sociology. New York: Oxford University Press.
Giddens Anthony and Turner, Jonathan (ed). 1982. Social Theory Today. Cambridge: Polity Press.
Lenski, Gerhard. 1966. Power and Privelege: A Theory of Social Stratification. New York: Mc.Graw Hill.
Lin, Nan. 1976. Foundations of Social Research. New York, San Fransisco, Aucland: Mc.Graw-Hill Book Company.
Little, Daniel.1991.Varieties of Social Explanation: An Introduction to the Philosophy of Social Science. Boulder, San Fransisco, Oxford: Westview Press.
Runth A. Wallace, Alison Wolf. 1980. Contemporary Sociological Theory: Continuing The Classical Tradition. Engewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Wallace, Walter. 1974. The Logic of Sceince in Sociology. Chicago:Aldine-Atherton, Inc.